Menguraikan Kembali Kemunduran Islam: Sebuah Pendekatan Dekolonisasi dalam Kajian Lumbard

Ciamis, 27 Mei 2025 – Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (HMPSIAT) sukses menggelar agenda Lingkar Studi Al-Qur’an Hadis (LISAHA) pada Selasa, 27 Mei 2025. Kegiatan yang bertempat di Home Prof. Dr. H. Abad Badruzaman, Lc., M. Ag. dengan mengangkat tema krusial: “Menafsir Ulang Kemunduran Islam: Pendekatan Dekolonisasi dalam ‘Islam, Coloniality, and The Pedagogy of Cognitive Liberation in Higher Education’ Karya Joseph E. B. Lumbard.” Diskusi ini menghadirkan Bapak Imam Sahal Ramdhani, S. Th. I., M. Ag., selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir sebagai narasumber utama, dengan Maarif Amin, mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, sebagai pemantik diskusi.

Dalam sesi LISAHA kali ini, pembahasan berpusat pada pemikiran Joseph E. B. Lumbard yang mencoba menjawab pertanyaan mendasar mengenai “kemunduran” negara-negara Islam dan peradaban keilmuan Islam. Lumbard mengidentifikasi masalah laten ini sebagai “penjajahan epistemik,” sebuah dominasi intelektual Eurosentris dalam studi Islam yang meminggirkan epistemologi Islam dan melanggengkan hierarki intelektual yang melemahkan tradisi serta sistem pendidikan Islam.

Menurut Lumbard, akar persoalan ini bermula dari kolonisasi atas studi Islam. Meskipun penjajahan fisik mungkin telah berakhir di sebagian besar komunitas Islam, penjajahan epistemologis masih terus berlangsung dalam bentuk hegemoni intelektual. Hegemoni ini menciptakan “reduksi epistemologis” yang menegasikan kemajuan budaya intelektual dan sistem pendidikan Islam, serta menumbuhkan watak ambivalensi, inferioritas, dan kegamangan epistemologis di kalangan umat Islam. Di ranah pendidikan, hegemoni ini memunculkan “kebuntuan hermeneutis” karena pemaksaan watak epistemologis kolonial, yang pada akhirnya membuat siswa dipaksa mengakulturasi watak tersebut alih-alih menganalisis dan mengkritik.

Bapak Imam Sahal Ramdhani, S. Th. I., M. Ag., menguraikan kritik Lumbard terhadap cara pandang kolonial. Lumbard menyoroti pernyataan merendahkan seperti Aloys Sprenger yang menyatakan, “Bangsa timur tidak lagi mampu mengurus khazanah sastra mereka sendiri”. Cara pandang subordinatif juga terlihat dalam pendapat Reynolds yang merasa sarjana masa kini lebih berkualitas dalam menafsirkan Al-Qur’an dibandingkan mufassirūn. Lumbard menyimpulkan beberapa poin dari kritik ini: pertama, Muslim dan epistemologi Islam hanya pantas menjadi objek, bukan subjek, karena superioritas Barat pasca-Renaisans. Kedua, adanya universalisme watak epistemik Barat yang menganggap pengetahuan di luar Barat sah jika sesuai dengan “ukuran-ukuran” Eurosentrisme. Ketiga, marginalisasi segala bentuk pengetahuan di luar narasi positivisme Euro-Amerika, seperti pandangan atas filsafat Islam pasca-klasik yang dianggap “paraphilosophy”. Keempat, “kelebihan kredibilitas” pada watak hegemonik Barat dan anggapan kurangnya kredibilitas pada watak-watak lain.

Untuk keluar dari permasalahan pelik ini, Lumbard menawarkan beberapa solusi dekolonisasi. Pertama, narasi “kemunduran cum kemajuan” harus dibaca secara kritis untuk menantang asumsi normatif Eurosentrisme yang menghegemoni studi Islam. Kedua, gerak dekolonisasi tidak berarti anti-Barat. Lumbard, sejalan dengan Hallaq, meyakini bahwa alat analisis orientalisme dapat digunakan untuk mengekskavasi tradisi intelektual Islam sebagai alternatif modernitas hiper-liberal dan realisme kapitalis. Ketiga, memperluas representasi tradisi intelektual Muslim dalam kurikulum pendidikan. Keempat, mengembangkan model pedagogi Islam yang berakar pada nilai-nilai dan watak pikir Islam. Kelima, memulihkan hierarki pengetahuan.

Maarif Amin turut menegaskan perbedaan signifikan antara sistem pendidikan kolonial dan Islam. Pendidikan Barat, yang lahir dari kapitalisme dan industrialisme, melahirkan industrialisasi pendidikan, di mana pengetahuan, lembaga, siswa, dan pengajar harus memenuhi tuntutan kapital dan industri untuk menghasilkan pekerja yang relevan dengan pasar. Sebaliknya, misi pendidikan dalam watak epistemik Islam tidak semata mengejar luaran praktis-pragmatis, melainkan bermuara pada peneguhan etika dan moral, dengan ruh “ta’dib” sebagai dimensi lokal yang berbeda dengan pendidikan kolonial. Impor model pendidikan kolonial dapat melumpuhkan pemikiran kritis, menyangkal kebebasan epistemik subjek terjajah, mereduksi identitas natural, dan melanggengkan kolonisasi epistemik, yang pada akhirnya menciptakan “kematian habitus” atau bahkan “genosida struktural” sebagaimana disebut Hallaq.

Meskipun pesantren dan madrasah masih ada, cara pandang marginal terhadapnya tumbuh subur di kalangan intelektual yang terkungkung dalam cara pandang kolonial. Lumbard juga menjelaskan pemulihan hierarki pengetahuan dengan mengkritik usulan August Comte tentang tahapan pengetahuan evolutif (teologis, metafisik, ilmiah) yang menginternalisasi pemisahan pengetahuan dan menganggap fase ilmiah sebagai yang paling ideal. Berbeda dengan itu, khazanah Islam melihat dimensi teologi, metafisik, dan ilmiah berjalan beriringan dan idealnya berdampingan, tanpa pemisahan atau marginalisasi.

Diskusi LISAHA ini menjadi pengingat bahwa pemikiran Lumbard merupakan “patahan” dalam kesarjanaan Euro-Amerika, menandakan pergeseran paradigma menuju kesetaraan, kesalingan, dan kemanusiaan. Di tengah kondisi post-truth dan krisis identitas, kesadaran akan dekolonisasi ini menjadi harapan untuk tetap jernih dan terang dalam menghadapi ketidakpastian.

Agenda LISAHA ini merupakan bukti nyata komitmen HMPSIAT dalam memantik diskusi-diskusi intelektual yang relevan dan mendalam bagi mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Diskusi ini juga tak lepas dari inspirasi obrolan di kelas doktoral dan debat daring yang sempat viral.

Share This Post